Jumat, 29 Maret 2024 Login
IMG-LOGO
Sekilas Info :
Ada Masalah Tentang Pembangunan & Pelayanan Publik Kapuas...! Silakan LAPOR Via SMS ke 1708 (ketik KAPUAS (spasi) Isi Aduan kirim ke 1708. Selamat Datang di Website SIBER (Sistem Informasi Berita Terintegrasi)
A R T I K E L

Bingkai Budaya Betang

by Admin SIBER - 2018-10-19 06:36:00 2,478 Dibaca
Bingkai Budaya Betang
Bingkai Budaya Betang

Oleh :

Dr. Rusma Noortyani, M.Pd  (Dosen FKIP ULM/Ketua Yayasan Nur Amalia)

(Baca Juga : Guru Warnai Hidup Siswa)

 

Etnik Dayak kebanyakan berdiam di daerah pedalaman dan tidak banyak yang mendiami daerah pesisir. Berkaitan dengan itu, pengaruh situasi alam tercermin dalam sikap dan gaya hidup suku Dayak dalam bermasyarakat yakni selalu waspada, tegas, tanpa basa basi langsung pada tujuan (Riwut, 2003:91). Kearifan lokal suku Dayak bingkai budaya betang. Budaya betang saat ini tidak lagi harus tinggal di rumah betang secara fisik, tetapi dipraktikkan dalam kesantunan tata krama sebagai kekuatan budaya lokal. Perilaku hidup belom bahadat yang teraktualisasi dalam wujud belom penyang hinje simpei, yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama.

Budaya betang sebagai cerminan kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak. Di dalam rumah betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama. Nilai utama yang tampak dalam kehidupan di rumah betang adalah nilai kebersamaan di antara warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Artinya etnik Dayak menghargai perbedaan baik etnik, agama, maupun latar belakang sosial.

Bingkai budaya betang terlihat dari perilaku manusia tidak hanya dibatasi pada perilaku terhadap sesama manusia, tetapi juga mencakup seluruh kehidupan yang ada di alam. Perilaku manusia terhadap hewan, tumbuhan, dan tanaman terdiri atas tiga bentuk, yaitu perilaku hormat dan menghargai hewan; perilaku kepedulian terhadap hewan dan tumbuhan; dan perilaku kasih sayang terhadap hewan dan tumbuhan. Hal tersebut tergambar dalam penelitian Olang (2015:111) bahwa perilaku yang berimplikasi pada kewajiban dan tanggung jawab bersama masyarakat Dayak terhadap pemeliharaan hutan.

Kearifan memelihara hutan dan sungai telah lama dilakukan oleh masyarakat Dayak. Kearifan masyarakat Dayak dalam menyelamatkan bumi harus didukung sepenuhnya. Masyarakat sudah membantu pemerintah menjaga hutan karena pohon yang tumbuh di dalam hutan merupakan warisan bagi anak cucu di masa yang akan datang. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mulyoutami, et al. (2009) berjudul Local Knowledge an Management of Simpukng (forest gardens) among the Dayak People in East Kalimantan, Indonesia. Penelitian tersebut memaparkan pemanfaatan tanaman dan ekologi hutan mereka. Masyarakat Dayak bersepakat untuk memelihara hutan bagi generasi mendatang.

Dalam menjaga hutan terdapat mantra Dayak Maanyan yang tercantum dalam penelitian Noortyani (2016:54).

            Nyamare barang yiti haut umak natama (Saya memanggil penjaga danau), Hampan naun tau hawi (Penjaga alam semesta), Aku mawar wunge taun (Ini saya tabur beras dan kembang tahun), Maka iti aku nawut weah (Untuk memanggil penjaga alam), Naun pangantu pangintuhu wunge (Penjaga berasal dari hutan), Ari aku nawut weah, ina aku mawar (Maka ini saya tabur beras), Nerau pangantu ulu ranu (Supaya kalian bisa datang), Aku nerau pangantu ulu waluh (Karena semua syarat sudah lengkap).

            Pembacaan mantra keselamatan di hutan merupakan proses awal sebuah kontak dengan sesuatu yang bersifat sakral. Hutan memberi kami air bersih, sehingga darah kami bersih. Tanah kami utuh, tanah menua dan tidak dibabat. Hutan kami menangkap karbon, gas yang beracun, sehingga kami terlindung dan kami tidak terkena penyakit.

 Aspek pelestarian sumber daya alam yang dilakukan terlihat dari pola pengelolaan lahan. Strategi pengelolaan dan pemanfaatan lahan sebagai habitat flora dan fauna yang dimanfaatkan, terdiri dari areal desa, daerah bekas desa yang ditinggalkan, rawa, kebun, sungai, dan hutan. Pelestarian alam adalah tanggung jawab bersama. Apabila salah satu warga meninggal akibat tertimpa kayu, tetua adat akan melakukan serangkaian upacara ritual mengayau kayu dengan maksud agar setelahnya hubungan manusia dengan alam kembali dipulihkan. Kayu dianggap secara filosofis memiliki roh karena kayu memiliki manfaat bagi kehidupan masyarakat Dayak. Penyucian hubungan itu dimaknai sebagai bagian dari upaya menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan alam yang berimplikasi kepada keseimbangan alam secara menyeluruh. (syatkmf)

Share: