Sabtu, 20 April 2024 Login
IMG-LOGO
Sekilas Info :
Ada Masalah Tentang Pembangunan & Pelayanan Publik Kapuas...! Silakan LAPOR Via SMS ke 1708 (ketik KAPUAS (spasi) Isi Aduan kirim ke 1708. Selamat Datang di Website SIBER (Sistem Informasi Berita Terintegrasi)
A R T I K E L

Iklim Bersastra

by Opr. SIBER_1 - 2019-03-03 07:41:00 1,019 Dibaca
Iklim Bersastra
Iklim Bersastra

oleh

Dr. Rusma Noortyani, M.Pd.

(Baca Juga : Kebersamaan Sosial dalam Tarian)

Dosen FKIP ULM/Ketua Yayasan Nur Amalia

                                                                                                                                                                                                                            

Warga sekolah secara internal ingin menjadikan sekolahnya sebagai komunitas pembelajar. Salah satunya dapat dilakukan melalui komunitas pembelajar sastra sebagai sarana untuk mendidik. Rahmanto (1988) menyatakan bahwa sastra bermanfaat untuk menafsirkan dan memahami masalah-masalah dunia nyata. Sebagaimana fungsi sastra untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Artinya, sastra dapat mengekspesikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu.

Penelitian Ismawati et al. (2016) menyebutkan beberapa siswa mengatakan berminat dan suka belajar sastra Indonesia dengan alasan berikut: 1) karena pembelajarannya asyik dan tidak membosankan; 2) karena mempelajari sastra Indonesia itu mengasyikkan terutama novel, puisi, dan drama serta sangat membantu siswa dalam menambah kosakata saat menulis puisi, novel, dan drama; 3) karena sastra Indonesia adalah pelajaran dasar dan wajib bagi bangsa Indonesia, bahasa adalah simbol dari suatu negara, dan pelajaran sastra Indonesia itu asyik dan dapat menciptakan imajinasi untuk berkarya merangkai kata-kata yang indah; 4) karena siswa bisa belajar berpuisi dalam pelajaran sastra Indonesia; 5) karena menghasilkan berbagai karya yang indah dan menghibur; 6) karena pelajaran sastra Indonesia banyak bacaan cerita dan gurunya yang menyenangkan; 7) karena metode pembelajaran yang diterapkan guru sangat menarik dan jelas. Dari tujuh alasan di atas, dapat dimaknai ketika guru ketika guru mengajar sastra disertai siswa yang merasakan proses pembelajaran menyenangkan. Pada akhirnya pemahaman mengenai materi pembelajaran dapat lebih mudah terserap ketika siswa berada dalam iklim bersastra menyenangkan.

Proses membaca sastra dikaitkan dengan kegiatan pembacaan simbol yang ada dalam karya. Bila membaca sastra dihadapkan dengan berbagai simbol yang menuntut kehati-hatian dalam menafsirkan simbol kebahasaan yang ada. Selain dihadapkan pada simbol, juga akan dihadapkan dengan seluk-beluk kebahasaan yang digunakan dalam karya sastra. Untuk itu, proses mengakrabi karya sastra dimulai dari pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, sampai pada penerapan. Misalnya waktu siswa membaca novel dapat mengalami perasaan lega dan dapat melepaskan emosinya. Hal ini diistilahkan oleh Aristoteles dengan kata katarsis yakni pelepasan jiwa dari tekanan-tekanan emosi yang ada ialah menikmati sebuah karya sastra.

Kemampuan iklim bersastra dalam berbagai bentuk diorientasikan pada pengembangan keberwacanaan dalam bidang budaya. Sastra melakukan pemaparan melalui simbol, metafor, dan gaya bahasa. Ini menjadi komitmen dan implementasi kebijakan apabila nilai dalam sastra dapat terinternalisasikan. Karya sastra dapat ditakar berdasarkan hubungan manusia dengan alam yang diimajinasikan. Keberlangsungan iklim bersastra dan ketersediaan karya sastra dapat dibangun warga sekolah melalui bacaan-bacaan yang mendukung.

Di dalam karya sastra bisa digali sumber informasi tentang tingkah laku, nilai-nilai, dan cita-cita yang khas dari pembelajaran. Guru sebagai agen pembina iklim bersastra dapat memanfaatkan sekolah sebagai wadah kreativitas, seperti mading (majalah dinding) untuk menggelar hasil tulisan sastra siswa. Guru juga dapat menggali talenta siswa melalui lomba seperti baca puisi, cipta puisi, baca cerpen, monolog, menulis cerpen, membaca syair. Sekolah memfasilitasi penerbitan karya sastra siswa. Dengan demikian, siswa dapat memiliki kebiasaan membaca karya sastra, terbuka dengan pemikiran baru, dan membiasakan menulis sastra. Sastra sebagai karya artistik karena sastra berasal dari proses imajinasi dan proses realitas objektif. Nilai estetik sastra dapat memompa dan membangun karakter siswa. Berbagai karya yang dibaca siswa akan dihadapkan pada analisis setiap peristiwa dari sudut pandang yang berbeda-beda, sehingga terbentuk peningkatan kualitas bijak dalam bersastra. (syatkmf)

Share: